SEJARAH BIMBINGAN DAN KONSELING DAN
LAHIRNYA BK 17 PLUS
Sejarah lahirnya Bimbingan dan
Konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya Bimbingan dan Konseling
(dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini
diawali sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi
IKIP) di Malang tanggal 20 – 24 Agustus 1960. Perkembangan berikutnya tahun
1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan.
Tahun 1971 beridiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan
IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP
Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Menado. Melalui proyek ini Bimbingan
dan Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan
Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan “pada PPSP. Lahirnya Kurikulum 1975 untuk
Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan.
Tahun 1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA Bimbingan
dan Penyuluhan di IKIP (setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan Guru
Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah yang sampai saat itu belum ada jatah
pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan.
Pengangkatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah mulai diadakan sejak
adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan. Keberadaan Bimbingan dan
Penyuluhan secara legal formal diakui tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan No
026/Menp an/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam Kepmen tersebut ditetapkan
secara resmi adanya kegiatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah.
Akan tetapi pelaksanaan di sekolah masih belum jelas seperti pemikiran awal
untuk mendukung misi sekolah dan membantu peserta didik untuk mencapai tujuan
pendidikan mereka.Sampai tahun 1993 pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di
sekolah tidak jelas, parahnya lagi pengguna terutama orang tua murid
berpandangan kurang bersahabat dengan BP. Muncul anggapan bahwa anak yang ke BP
identik dengan anak yang bermasalah, kalau orang tua murid diundang ke sekolah
oleh guru BP dibenak orang tua terpikir bahwa anaknya di sekolah mesti
bermasalah atau ada masalah. Hingga lahirnya SK Menpan No. 83/1993 tentang
Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya yang di dalamnya termuat aturan
tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah. Ketentuan pokok dalam SK Menpan itu
dijabarkan lebih lanjut melalui SK Mendikbud No 025/1995 sebagai petunjuk
pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Di Dalam SK Mendikbud
ini istilah Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi Bimbingan dan Konseling di
sekolah dan dilaksanakan oleh Guru Pembimbing. Di sinilah pola pelaksanaan
Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai jelas.
Pra Lahirnya Pola 17
Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah
diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus
diterapkan berdampak pada buruknya citra bimbingan dan konseling, sehingga melahirkan
miskonsepsi terhadap pelaksanaan BK, munculnya persepsi negatif terhadap
pelaksanaan BK, berbagai kritikan muncul sebagai wujud kekecewaan atas kinerja
Guru Pembimbing sehingga terjadi kesalahpahaman, persepsi negatif dan
miskonsepsi berlarut. Masalah menggejala diantaranya: konselor sekolah dianggap
polisi sekolah, BK dianggap semata-mata sebagai pemberian nasehat, BK dibatasi
pada menangani masalah yang insidental, BK dibatasi untuk klien-klien tertentu
saja, BK melayani ”orang sakit” dan atau ”kurang normal”, BK bekerja sendiri,
konselor sekolah harus aktif sementara pihak lain pasif, adanya anggapan bahwa
pekerjaan BK dapat dilakukan oleh siapa saja, pelayanan BK berpusat pada
keluhan pertama saja, menganggap hasil pekerjaan BK harus segera dilihat,
menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien, memusatkan usaha BK
pada penggunaan instrumentasi BK (tes, inventori, kuesioner dan lain-lain) dan
BK dibatasi untuk menangani masalah-masalah yang ringan saja.
Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah
diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus
diterapkan disebabkan diantaranya oleh hal-hal sebagai berikut :
1.
Belum adanya hukum
Sejak
Konferensi di Malang tahun 1960 sampai dengan munculnya Jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan di IKIP Bandung dan IKIP Malang tahun 1964, fokus pemikiran adalah
mendesain pendidikan untuk mencetak tenaga-tenaga BP di sekolah. Tahun 1975
Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang berhasil menelurkan keputusan penting
diantaranya terbentuknya Organisasi bimbingan dengan nama Ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia (IPBI). Melalui IPBI inilah kelak yang akan berjuang untuk
memperolah Payung hukum pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah menjadi
jelas arah kegiatannya.
2.
Semangat luar biasa untuk melaksanakan
BP di sekolahLahirnya SK Menpan No. 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit
bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Merupakan angin segar pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah. Semangat
yang luar biasa untuk melaksanakan ini karena di sana dikatakan “Tugas guru
adalah mengajar dan/atau membimbing.” Penafsiran pelaksanaan ini di sekolah dan
didukung tenaga atau guru pembimbing yang berasal dari lulusan Jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan atau Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (sejak
tahun 1984/1985) masih kurang, menjadikan pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan
di sekolah tidak jelas. Lebih-lebih lagi dilaksanakan oleh guru-guru yang
ditugasi sekolah berasal dari guru yang senior atau mau pensiun, guru yang
kekurangan jam mata pelajaran untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya.
Pengakuan legal dengan SK Menpan tersebut menjadi jauh arahnya terutama untuk
pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah.
3.
Belum ada aturan main yang jelas
Apa,
mengapa, untuk apa, bagaimana, kepada siapa, oleh siapa, kapan dan di mana
pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan dilaksanakan juga belum jelas. Oleh siapa
bimbingan dan penyuluhan dilaksanakan, di sekolah banyak terjadi diberikan
kepada guru-guru senior, guru-guru yang mau pensiun, guru mata pelajaran yang
kurang jam mengajarnya untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Guru-guru ini
jelas sebagian besar tidak menguasai dan memang tidak dipersiapkan untuk
menjadi Guru Pembimbing. Kesan yang tertangkap di masyarakat terutama orang tua
murid Bimbingan Penyuluhan tugasnya menyelesaikan anak yang bermasalah.
Sehingga ketika orang tua dipanggil ke sekolah apalagi yang memanggil Guru
Pembimbing, orang tua menjadi malu, dan dari rumah sudah berpikir ada apa dengan
anaknya, bermasalah atau mempunyai masalah apakah. Dari segi pengawasan, juga
belum jelas arah dan pelaksanaan pengawasannya. Selain itu dengan pola yang
tidak jelas tersebut mengakibatkan:
- Guru BP (sekarang Konselor Sekolah) belum mampu mengoptimalisasikan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan terhadap siswa yang menjadi tanggungjawabnya. Yang terjadi malah guru pembimbing ditugasi mengajarkan salah satu mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Kesenian, dsb.nya.
- Guru Pembimbing merangkap pustakawan, pengumpul dan pengolah nilai siswa dalam kelas-kelas tertentu serta berfungsi sebagai guru piket dan guru pengganti bagi guru mata pelajaran yang berhalangan hadir.
- Guru Pembimbing ditugasi sebagai “polisi sekolah” yang mengurusi dan menghakimi para siswa yang tidak mematuhi peraturan sekolah seperti terlambat masuk, tidak memakai pakaian seragam atau baju yang dikeluarkan dari celana atau rok.
- Kepala Sekolah tidak mampu melakukan pengawasan, karena tidak memahami program pelayanan serta belum mampu memfasilitasi kegiatan layanan bimbingan di sekolahnya,
- Terjadi persepsi dan pandangan yang keliru dari personil sekolah terhadap tugas dan fungsi guru pembimbing, sehingga tidak terjalin kerja sama sebagaimana yang diharapkan dalam organisasi bimbingan dan konseling.Kondisi-kondisi seperti di atas, nyaris terjadi pada setiap sekolah di Indonesia.
Lahirnya Pola 17
SK Mendikbud No. 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan
Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya terdapat hal-hal yang substansial,
khususnya yang menyangkut bimbingan dan konseling adalah :
1. Istilah “bimbingan dan penyuluhan” secara resmi diganti
menjadi “bimbingan dan konseling.”
2. Pelaksana bimbingan dan konseling di sekolah adalah guru
pembimbing, yaitu guru yang secara khusus ditugasi untuk itu. Dengan
demikian bimbingan dan konseling tidak dilaksanakan oleh semua guru atau
sembarang guru.
3. Guru yang diangkat atau ditugasi untuk melaksanakan
kegiatan bimbingan dan konseling adalah mereka yang berkemampuan melaksanakan
kegiatan tersebut; minimum mengikuti penataran bimbingan dan konseling selama
180 jam.
4. Kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan pola
yang jelas :
a. Pengertian, tujuan, fungsi, prinsip dan asas-asasnya.
b. Bidang bimbingan : bimbingan pribadi, sosial, belajar dan
karir
c. Jenis layanan : layanan
orientasi, informasi, penempatan/penyaluran, pembelajaran, konseling
perorangan, bimbingan kelompok dan konseling kelompok.
d. Kegiatan pendukung :
instrumentasi, himpunan data, konferensi kasus, kunjungan rumah dan alih tangan
kasus.
Unsur-unsur di atas (nomor 4)
membentuk apa yang kemudian disebut “BK Pola-17”
5. Setiap kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan
melalui tahap :
a. Perencanaan kegiatan
b. Pelaksanaan kegiatan
c. Penilaian hasil kegiatan
d. Analisis hasil penilaian
e. Tindak lanjut
6.
Kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan di dalam dan di luar jam kerja
sekolah. Hal-hal yang substansial di atas diharapkan dapat mengubah kondisi
tidak jelas yang sudah lama berlangsung sebelumnya. Langkah konkrit diupayakan
seperti:
1. Pengangkatan guru pembimbing yang
berlatar belakang pendidikan bimbingan dan konseling.
2. Penataran guru-guru pembimbing
tingkat nasional, regional dan lokal mulai dilaksanakan.
3. Penyususnan pedoman kegiatan
bimbingan dan konseling di sekolah, seperti: a. Buku teks bimbingan dan
konselingb. Buku panduan pelaksanaan menyeluruh bimbingan dan konseling di
sekolahc. Panduan penyusunan program bimbingan dan konselingd. Panduan
penilaian hasil layanan bimbingan dan konselinge. Panduan pengelolaan bimbingan
dan konseling di sekolah
4. Pengembangan instrumen bimbingan
dan konseling
5. Penyusunan pedoman Musyawarah
Guru Pembimbing (MGP) Dengan SK Mendikbud No 025/1995 khususnya yang menyangkut
bimbingan dan konseling sekarang menjadi jelas : istilah yang digunakan
bimbingan dan konseling, pelaksananya guru pembimbing atau guru yang sudah
mengikuti penataran bimbingan dan konseling selama 180 jam, kegiatannya dengan
BK Pola-17, pelaksanaan kegiatan melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, penilaian,
analisis penilaian dan tindak lanjut. Pelaksanaan kegiatan bisa di dalam dan
luar jam kerja. Peningkatan profesionalisme guru pembimbing melalui Musyawarah
Guru Pembimbing, dan guru pembimbing juga bisa mendapatkan buku teks dan buku
panduan.